JAKARTA – Banjir yang melanda Bekasi beberapa waktu lalu mencerminkan dampak dari beberapa faktor diantaranya adalah perubahan tata guna lahan dan fenomena perubahan iklim yang semakin ekstrem. Banjir di Bekasi menyebabkan puluhan ribu orang terdampak.
Water Network Initiative dan Researcher di Kajima Technical Research Institute, Maulana Ibrahim Rau mengatakan, proses konversi lahan menjadi area terbangun, seperti permukiman dan kawasan industri, mengurangi kapasitas resapan air yang seharusnya mengalir ke tanah.
“Akibatnya, aliran air menjadi jauh lebih besar dan tidak dapat ditampung oleh sistem drainase atau sungai, yang menyebabkan banjir dengan ketinggian air mencapai 2 meter di beberapa titik, terutama di DAS Kali Bekasi yang saat ini menjadi sorotan,” ujar Maulana, Senin (10/3/2025).
Momen itu terjadi ketika Prabowo mengunjungi masyarakat yang terdampak bencana banjir di Kampung Tambun Inpres, Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Sabtu (8/3/2025) sore.
Dalam kunjungannya itu, Prabowo mendapat laporan terkait adanya sejumlah fasilitas yang belum bisa dioperasionalkan. Tak hanya itu, Sekolah Dasar (SD) Negeri 04 Babelan juga ikut terdampak banjir.
Maulana melakukan kajian pada 2021, saat itu curah hujan desain di DAS Kali Bekasi yang mencapai lebih dari 230 mm dalam sehari tergolong dalam periode ulang hujan 100 tahun.
“Ini bukan berarti peristiwa tersebut hanya terjadi sekali dalam 100 tahun, melainkan menunjukkan bahwa probabilitas kejadiannya dalam satu tahun adalah 1%, layaknya peluang dalam permainan dadu,” imbuhnya.
Dengan kata lain, meskipun kemungkinannya kecil, kejadian seperti ini tetap bisa terjadi kapan saja, terutama dengan adanya perubahan iklim yang semakin meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia.
“Penting untuk diingat bahwa perubahan iklim mempengaruhi seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sehingga peristiwa hujan ekstrem semakin sering terjadi, dan tentunya diperlukan solusi jangka panjang untuk mengurangi dampaknya,” terangnya.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga area resapan air, memastikan kebersihan drainase dari sampah, serta memanfaatkan area floodplain sesuai peruntukannya agar dapat berfungsi sebagai wilayah penampungan air alami.
Pemerintah dan berbagai lembaga lainnya tentu telah melakukan upaya maksimal dalam mengkaji mitigasi kejadian banjir. Namun, tanpa kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat, mitigasi bencana ini akan sulit dilakukan secara efektif.
“Pada akhirnya, kita semua memiliki tanggung jawab dalam mengelola lingkungan dan mencegah banjir agar dampaknya dapat diminimalkan di masa depan,”ucapnya.
Selain itu, perlu dikembangkan lebih lanjut sistem mitigasi banjir yang terintegrasi dan mudah diakses oleh masyarakat luas.
Salah satu contohnya adalah kebijakan Satu Peta Banjir, yang memanfaatkan kartografi atau sistem pemetaan yang intuitif agar lebih mudah dipahami dan diakses oleh masyarakat.
Mengingat Kebijakan Satu Peta Nasional sudah dijalankan oleh Badan Informasi Geospasial, pengembangan Satu Peta Banjir menjadi langkah potensial untuk menyediakan informasi yang lebih terpusat dan akurat mengenai daerah rawan banjir, pola aliran air, serta strategi mitigasi yang dapat dilakukan.
Dengan adanya peta ini, harapannya masyarakat dapat lebih memahami daerah rawan banjir, mempersiapkan diri, serta mengambil langkah mitigasi yang lebih baik.
Upaya ini harus didukung oleh kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat agar solusi yang diterapkan benar-benar efektif dalam mengurangi risiko banjir di masa depan. “Semoga langkah-langkah penanganan darurat yang saat ini dilakukan di Kabupaten Bekasi dapat meringankan beban warga. Namun, lebih dari itu, solusi permanen perlu segera diterapkan agar kejadian serupa dapat dicegah dan tidak terus berulang di masa mendatang,” pungkasnya.